Hampir
semua pihak menyetujui mengenai pentingnya keberadaan Perpustakaan Sekolah
dalam menunjang mutu pendidikan di suatu sekolah. Keberadaannya dianggap akan
sangat membantu siswa, sekurangnya dalam hal meningkatkan minat baca dan
menyediakan koleksi bahan bacaan bagi keperluan tugas belajar. Bagi guru,
keberadaan Perpustakaan Sekolah akan sangat membantu tugasnya dalam proses
kegiatan belajar mengajar (KBM) sebagai bagian dari sarana belajar di sekolah.
Jauh Dari Ideal
Pertanyaannya
adalah sejauhmanakah keberadaan Perpustakaan Sekolah saat ini ? Secara riil di
lapangan, sudahkah Perpustakaan Sekolah mendekati kondisi ideal sebagaimana
dinyatakan dalam UU No. 43/2007 tentang Perpustakaan dan UU No. 20/2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional ? Barangkali, penelitian secara khusus mengenai
kondisi riil Perpustakaan Sekolah, mungkin belum pernah dilakukan. Namun, kalau
boleh memperkirakan berdasarkan pengamatan yang sepintas saja, secara umum
jawabannya adalah belum ideal, bahkan sangat jauh untuk dapat dikatakan sebagai
Perpustakaan Sekolah yang ideal, terutama yang terjadi di sekolah-sekolah di
luar daerah perkotaan. Hal ini, sekurang-kurangya bila dikaitkan dengan fungsi
minimal Perpustakaan Sekolah, yakni sebagai wahana informasi, wahana edukasi
dan wahana rekreasi bagi siswa selama belajar di sekolah.
Secara
nasional, keberadaan Perpustakaan Sekolah merupakan bagian dari dua sistem
kelembagaan yang berbeda, yakni Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas)
dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Sebagai bagian dari sistem
kelembagaan Kemendiknas, melalui Dinas Pendidikan di setiap daerah berdasarkan
UU Otonomi Daerah, Perpustakaan Sekolah merupakan bagian dari instalasi sistem
sarana belajar mengajar di sekolah. Kedudukannya sama, seperti halnya dengan
Laboratorium Sekolah, antara lain Laboratorium Bahasa, Laboratorium IPA, dan
Laboratorium Komputer, Sementara itu, di sisi lain, Perpustakaan Sekolah pun
merupakan bagian dari mata rantai sistem nasional perpustakaan, yang antara
lain meliputi Perpusnas RI, Perpustakaan Daerah (Perpusda), Perpustakaan Masyarakat,
Perpustakaan Khusus dan Perpustakaan Perguruan Tinggi.
Namun
demikian, sesuai dengan kenyataan di lapangan, keberadaan Perpustakaan Sekolah
pada umumnya justru masih sangat memprihatinkan. Tampaknya, keberadaannya belum
dijadikan sebagai prioritas utama untuk dikembangkan oleh sekolah. Kalaupun
Perpustakaan Sekolah itu ada, mungkin baru pada tahap awal perkembangan sebuah
perpustakaan. Perpustakaan Sekolah biasanya menempati sisa ruangan yang ada di
sekolah, bukan dirancang khusus sebagai sebuah ruangan atau bangunan yang
memang diperuntukkan untuk perpustakaan sesuai dengan standar nasional
perpustakaan. Koleksi bacaannya pun masih sangat terbatas, sarana atau
fasilitas perpustakaan masih seadanya, hingga tenaga pustakawan yang
mengurusnya masih bersifat darurat, yang biasanya dirangkap oleh beberapa orang
guru pengajar yang ditugaskan oleh Kepala Sekolah yang bersangkutan. Jangan
tanya soal anggaran dana, secara umum amat mungkin hampir tidak ada sama
sekali.
Perlu Komitmen dan Kesungguhan
Sudah
saatnya, pengembangan Perpustakaan Sekolah yang memadai perlu dijadikan sebagai
program prioritas utama bagi sekolah-sekolah secara nasional. Sudah saatnya,
keberadaan Perpustakaan Sekolah tidak lagi dijadikan sebagai program yang
terkesan diabaikan, yang hanya berdasarkan prinsip “yang penting asal
ada”. Diperlukan adanya komitmen dan kesungguhan dari berbagai pihak untuk
mewujudkan hal tersebut, antara lain melibatkan pihak sekolah, Dinas Pendidikan
setempat, Kementerian Pendidikan Nasional dan Perpustakaan Nasional RI.
Untuk
mendukung gagasan tersebut, setidak-tidaknya perlu didukung oleh dua hal
penting yang saling berkaitan. Yakni, pertama, adanya kebijakan secara
nasional, yang kemudian didukung pula oleh kebijakan di tingkat daerah,
mengenai program pengembangan Perpustakaan Sekolah, khususnya terkait dalam hal
pengadaan sarana dan prasarana perpustakaan yang memadai, tenaga pustakawan
yang profesional dan koleksi bacaan yang bermutu dan beragam dalam jumlah yang
memadai bagi kepentingan minat baca siswa. Sedangkan yang kedua, adalah
diperlukan adanya kebijakan sekolah yang bersedia merealisasikan amanat UU No.
43/2007 tentang Perpustakaan, khususnya dalam hal pengalokasian dana minimal 5
% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) untuk pengembangan
Perpustakaan Sekolah.
Pasal 23 (6) UU No. 43/2007
tentang Perpustakaan secara eksplisit menyebutkan bahwasekolah/madrasah harus mengalokasikan dana paling
sedikit 5 (lima) persen dari anggaran belanja operasional sekolah / madrasah atau belanja barang, di luar belanja
pegawai dan belanja modal untuk pengembangan perpustakaan. Perintah Udang-Undang nya
sangat jelas dan tegas, tinggal bagaimana caranya agar sekolah mampu
Pendapat ane gan :
Ane tadi sempet berbincang-bincang dengan adik Ibu ane mengenai perpustakaan di sekolah nya. Beliau yang juga bekerja sebagai pustakawan di salah satu sekolah di daerah ane (dulu ane juga alumni situ) menjelaskan bahwa dalam pengajuan anggaran perpustakaan sekolah beliau juga dipersulit oleh sekolah, Dan justru yang mempersulit beliau adalah sang Kepala Sekolah tersebut. Padahal menurut peraturan UU di atas disebutkan bahwa anggaran perpustakaan adalah 5% dari RAPBS. Kenapa selalu begitu ? Ya memang, faktor kekayaanlah yang menurut ane sebagai kendala sulit memperjuangkan kemajuan Perpustakaan di Indonesia. Karena di sekolah merupakan tempat "basah" yang banyak disukai oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Ane jadi miris gan melihat kenyataan yang seperti ini, tapi ane salut ama Tante (bulik dalam bahasa jawa) ane. Beliau terus saja berusaha, bahkan sampai ke dinas Pendidikan daerah. Ya semoga saja langkah Beliau juga diikuti oleh para pustakawan di Indonesia.
"Maju Terus Pustakawan Indonesia"
Posted by
23.44
and have
, Published at