Jakarta - Setelah kurang lebih tiga minggu membiasakan diri untuk menggunakan angkutan umum ke kantor, saya mulai mengamati perilaku warga Jakarta saat pagi dan malam hari. Begitu banyak hal yang saya amati dan membuat saya kaget akan apa yang saya temui di jalanan kota Jakarta.
Individualistis… Ya, itu sangat benar. Orang-orang berlaku dan bertindak sangat individualitis tanpa memiliki rasa kemanusiaan.
Matrealistis… Ya, hal ini juga sangat benar adanya. Inilah yang menghiasi pandangan saya saat pagi dan malam hari. Bukan hanya warga biasa yang matrealistis, tetapi aparat keamanan (polisi) juga.
Jika anda melintas saat pagi hari dan melewati kawasan Sudirman khususnya seberang stasiun Sudirman, anda akan melihat beberapa polisi yang ada dipinggir jalan. Para polisi tersebut harusnya bertugas untuk menjaga lalu lintas agar tidak macet, tetapi malah mereka yang membuat jalanan diseberang stasiun Sudirman macet. Di mana mereka membiarkan angkutan umum (Kopaja dan Metro Mini) berhenti di tempat terlarang (dilarang stop/ parkir) untuk menunggu para penumpang kereta api yang akan melanjutkan perjalanan mereka menggunakan angkutan umum (Kopaja/ Metro Mini). Hal itu menjadi pemandangan saya setiap pagi. Para polisi membiarkan angkutan umum untuk berhenti di tempat terlarang tersebut asalkan angkutan umum tersebut bersedia memasukkan selembar atau beberapa lembar uang ke dalam tas topi yang mereka gantung di motor mereka.
Selain itu, jika malam hari anda melintas kawasan Sudirman tepat dibawah jembatan halte Dukuh Atas, anda akan mendapatkan pos polisi ditengah jalan (antara jalur cepat dan lambat). Malam ini angkutan umum yang saya tumpangi (Kopaja) memasuki jalur cepat karena jalur lambat terlihat sangat macet dari kejauhan. Seharusnya angkutan umum tidak boleh melewati jalur cepat. Terlihat polisi yang berdiri sebelum pos polisi melambaikan tangan ke angkutan umum yang saya tumpangi. Pikiran saya adalah angkutan umum ini bakal ditahan atau ditilang. Ternyata sang kondektur hanya menyetorkan uang di pos polisi tersebut dan dapat melewati jalur cepat dengan santainya. Ketika sang kondektur kembali naik, dia tertawa dan mengatakan kepada sang sopir bahwa dia hanya menaruh uang Rp 2.000,- di pos polisi tersebut, padahal sebelumnya sang sopir berteriak untuk memberikan uang Rp 5.000,- kepada polisi tersebut. Seketika itu semua penumpang tertawa dengan kerasnya. Saya pun ikut tertawa dengan kerasnya dan mengatakan kepada sang kondektur “biarin saja dapat Rp 2.000,- karena sudah dapat banyak dari yang lain”.
Saya bingung dengan mental para polisi dikawasan Sudirman (walau mungkin dikawasan atau daerah lain juga seperti itu) yang hanya dihargai oleh masyarakat dengan lembaran uang Rp 2.000,- atau Rp 5.000,- Dengan kata lain, masyarakat sudah sangat tidak menghargai polisi. Hal ini juga disebabkan oleh polisi yang menempatkan harga diri, jabatan, dan tugas yang mereka emban dibawah lembaran uang Rp 2.000,- atau Rp 5.000,-
Sungguh sangat sedih saya menyaksikan kejadian tersebut setiap pagi dan malam hari dengan mata kepala saya sendiri.
Bagaimana korupsi dapat diberantas dari negara kita, kalau aparat hukum saja bermental uang?
Bagaimana masyarakat mau menghargai aparat hukum; jika aparat hukum menjual harga diri, jabatan, dan tugas yang diemban seharga Rp 2.000,- atau Rp 5.000,- ?
Harapan saya semoga esok pagi ketika perjalanan ke kantor atau malam hari ketika perjalanan pulang, saya tidak menemukan polisi Rp 2.000,- atau Rp 5.000,-
Posted by
08.02
and have
, Published at